SAIN DAN TEORI

EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG SAIN DAN TEORI

oleh Muhammad Hasri

Widyaiswara LPMP Sulsel

  1. Pembuka

Periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki perdaban baru manusia. Pada periode ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari motosentris menjadi logosentris. Manusia yang dahulunya fasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses ini ilmu kemudian berkembang yang membuahkan hasil dalam bentuk teknologi.

Kreativitas manusia terus berkembang. Pertentangan demi pertentangan dihasilkan. Silang pendapat mengenai sudut pandang terhadap suatu objek terus berkembang. Dalam alam kefilsafatan dikenali pemikiran empirisme yang materialistis dan pemikiran rasionalisme yang mendewakan pemikiran. Dua sudut pandang yang berbeda ini melahirkan sejumlah cabang pemikiran yang ruwet yang terus menerus diperdebatkan oleh para ahli.

Dengan berorientasi kepada kausalitas kejadian pada sejumlah fenomena alam, sains mengalami perkembangan yang pesat. Kerangka konseptual terus menerus dibangun menuju ke penyempurnaan teori. Hasilnya dalam bentuk penguatan, pembantahan, dan atau temuan baru.

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas mengenai sains dan teori sebab kedua persoalan ini menempati andil yang sangat besar dalam pencapaian kemajuan teknologi dewasa ini.

  1. Ilmu dan Pengetahuan

Ilmu dan pengetahuan merupakan dua istilah yang berbeda. Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 140) mengemukakan bahwa ilmu adalah pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Pengetahuan adalah pembentukan pemikiran asosiatif yang menghubungan atau menjalin sebuah pikiran dengan kenyataan atau dengan pikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai kausalitas yang hakiki dan universal. Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang menjelaskan kausalitas dari suatu objek menurut metode tertentu yang merupakan suatu kesatuan sistematis.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan bukan hanya ilmu. Pengetahuan merupakan bahan utama bagi ilmu. Pengetahuan tidak menjawab pertanyaan mengenai suatu kenyataan sebagaimana dapat dijawab oleh ilmu. Pengetahuan baru dapat menjawab tentang apa, sedangkan ilmu dapat menjawab pertanyaan tentang mengapa dari suatu kenyataan atau kejadian.

Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya. Hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk memprediksi dan mengontrol gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai kejadian-kejadian alam yang bersifat umum dan impersonal.

Bakhtiar (2007: 87) mengemukakan bahwa ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense yang berasal dari pengalaman sehari-hari yang dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.

Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara objektif, bertujuan menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ilmu diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Ilmu bersifat objektif (tidak subjektif), bersifat netral, menyampingkan unsur pribadi, dan mengutamakan pemikiran logika. Ilmu dimulai dengan fakta dan dimiliki manusia secara komprehensif (Bakhtiar, 1997: 88).

Selanjutnya, terdapat sejumlah pengertian yang mencerminkan indikasi sebuah ilmu.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988). Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974)
Pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962)
Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi (Tan, 1954)

Dari sejumlah pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait.

  1. Sifat-sifat dan Asumsi Dasar Ilmu

Ilmu bertujuan menjelaskan segala yang ada di alam semesta ini. Untuk menjelaskan itu ilmu memiliki sifat dan asumsi dasar. Perkembangan ilmu didasarkan atas sifat dan asumsi dasar tersebut.

Ada tiga sifat dasar yang melekat pada ilmu. Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 140) mengemukakan bahwa ada tiga sifat dasar ilmu: (1) ilmu menjelajah dunia empirik tanpa batas sejauh dapat ditangkap oleh panca indera (dan indera yang lain), (2) tingkat kebenarannya relatif dan tidak sampai kepada tingkat kebenaran yang mutlak, (3) ilmu menemukan proposisi-proposisi (hubungan sebab akibat) yang teruji secara empirik.

Mengacu kepada tiga sifat-sifat dasar di atas, dapat dikemukakan tiga asumsi dasar ilmu. Ketiga asumsi itu adalah (1) dunia ini ada (manipulable), (2) fenomena yang ditangkap oleh indera manusia berhubungan satu sama lain, (3) percaya akan kemampuan indera yang menangkap fenomena itu, dan (4) ilmu adalah pengetahuan yang sistematik.

Ilmu identik dengan dunia ilmiah, karenanya ilmu mengindikasikan tiga ciri, yaitu lmu harus merupakan suatu pengetahuan yang didasarkan pada logika, terorganisasikan secara sistematis, dan berlaku secara umum.

  1. Komponen Pembangun Ilmu

Komponen ilmu yang hakiki adalah fakta dan teori. Komponen lainnya adalah fenomena dan konsep Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 142).

Fenomen yang ditangkap oleh indera manusia dibastaraksikan dengan sejumlah konsep. Konsep merupakan simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Jadi, konsep merupakan penyederhanaan dari fenomena.

Konsep yang semakin mendasar akan sampai pada variabel. Variabel merupakan sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik kualitatif maupun kuantitatif. Semakin berkembang suatu ilmu semakin berkembang pula konsep-konsepnya untuk sampai kepada variabel-variabel dasar.

Melalui penelaahan yang terus menerus, ilmu akan sampai pada hubungan-hubungan yang merupakan hasil akhir dari ilmu. Hubungan-hubungan yang didukung oleh data empirik disebut fakta. Ilmu merupakan fakta dan jalinan fakta secara utuh membentuk teori.

  1. Konseptual Teori

Sejumlah ahli telah mengulas konsep yang terkandung dalam istilah teori. Secara umum istilah teori mengandung beberapa pengertian, yaitu teori adalah abstraksi dari realitas.
Teori terdiri atas sekumpulan prinsip dan defenisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis. Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksioma-aksioma dasar yang saling berkaitan.
Teori terdiri atas teorema-teorema yakni generalisasi-generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris. Tegasnya, teori pada dasarnya merupakan konseptualisasi atau penjelasan logis dan empirik tentang suatu fenomena. Bentuknya merupakan pernyataan-pernyataan yang berupa kesimpulan tentang suatu fenomena.

Teori memiliki dua ciri umum: (1) semua teori adalah abstraksi tentang sesuatu hal, yang berarti suatu teori bersifat terbatas. (2) Semua teori adalah konstruksi ciptaan individual manusia. Oleh karena itu, sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya (Mulyana, 2008).

Lebih lanjut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 142) mengemukakan bahwa teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain yang menunjukkan fenomena secara sistematis dan bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomen-fenomena. Hal ini menunjukkan bahwa teori bukan suatu spekulasi melainkan suatu konstruksi yang jelas yang dibangun atas jalinan fakta-fakta.

Terdapat jalinan yang kuat antara fakta dengan teori. Fakta mempunyai peran dalam pijakan, formulasi, dan penjelasan teori. Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 142) merinci keterkaitan keduanya sebagai yang berikut.

a. fakta memulai teori: teori berpijak pada satu – dua fakta hasil penemuan, kadang-kadang tidak disengaja.

b. Fakta menolak dan mereformasi teori yang telah ada: bila ada fakta yang belum terlejaskan oleh teori, kita dapat menolak atau pun mereformasi teori itu sedemikian rupa sehingga dapat terjelaskan fakta tersebut.

c. Facts redefine and clarify theory: fakta dapat mendefinisikan atau memperjelas kembali definisi-definisi yang ada dalam teori.

Salah satu hal penting yang perlu dikemukakan adalah bagaimana strategi yang digunakan dalam melakukan penjelasan terhadap suatu teori. Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut penyebutan nama dan pendefenisian variable-variabel, tetapi juga mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara variabel. Menurut Litlejohn (1987 dalam Mulyana, 2008:5), penjelasan dalam teori berdasarkan pada prinsip keperluan (the principle of necessity) yakni suatu penjelasan yang menerangkan variable-variabel apa yang mungkin diperlukan untuk menjelaskan atau menghasilkan sesuatu. Misalnya untuk menghasilkan variabel X, mungkin diperlukan variable Y dan Z. selanjutnya dijelaskan pula bahwa prinsip ini terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) causal necessity (keperluan kausal). Berdasarkan pada azas sebab-akibat. Misalnya karena ada X dan Z maka ada Y. (2) practical necessity (keperluan praktis). Mengacu pada hubungan tindakan-konsekuensi. Menurut prinsip ini X dan Z memang bertujuan untuk, atau praktis untuk menghasilkan Y. (3) logical necessity (keperluan logis). Prinsip ini berdasarkan asas konsistensi logis. Artinya X dan Z secara konsisten dan logis akan selalu menghasilkan Y.

  1. Peran Teori dalam Pengembangan Ilmu

Littlejohn (dalam Mulayana, 2008:3) menyatakan 9 fungsi dari teori:

    1. mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Hal ini berarti bahwa dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukan secara sepotong-sepotong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
    2. Memfokuskan, teori pada dasarnya menjelaskan tentang sesuatu hal, bukan banyak hal.
    3. Menjelaskan, teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu.
    4. Pengamatan, teori tidak sekedar memberi penjelasan, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya, berupa konsep-konsep operasional yang akan dijadikan patokan ketika mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori.
    5. Membuat predikasi, meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang.
    6. Fungsi heuristik atau heurisme, artinya bahwa teori yang baik harus mampu merangsang penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
    7. Komunikasi, teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan-kritikan, yang memungkinkan untuk menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
    8. Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
    9. Generatif, fungsi ini terutama menonjol di kalangan pendukung aliran interpretif dan kritis. Menurut aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.

Selain kesembilan peran teori di atas Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 143) mengemukakan peran teori dalam pengembangan ilmu. Ada lima peran yang mereka kemukakan, yaitu

a. Teori sebagai orientasi: ilmuwan dapat mempersempit cakupan yang akan ditelaah.

b. Teori sebagai konseptual dan klasifikasi: dapat memberikan petunjuk tentang kejelasan hubungan antara konsep-konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu.

c. Teori sebagai generalisasi: memberikan rangkuman terhadap generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi.

d. Teori sebagai peramal fakta: membuat prediksi tentang adanya fakta dengan cara membuat ekstrapolasi dari yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui.

e. Theory points to gap in our knowledge: menunjukkan adanya kesenjangan dalam pengetahuan kita. Ahli teori tidak dapat secara lengkap menyusun teori yang telah menjadi pengetahuan. Tebuka kesempatan untuk menutupi kesenjangan melalui melengkapi, menjelaskan, dan mempertajam.

  1. Pengembangan Teori dan Pengujian Teori

Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model pendekatan eksperimental yang lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Pendekatan ini disebut Hyphotetif-deductive method, proses pengembangan teori melibatkan empat tahap:

(1) developing questions (mengembangkan pertanyaan),

(2) forming hyphotheses (membentuk hipotesis)

(3) testing the hyphotheses (menguji hipotesis), dan

(4) formulating theory (memformulasikan theory)

Pengembangan teori dapat dilakukan melalui siklus empirik. Siklus empirik diper oleh melalui sejumlah tahapan. Pertama, asumsi-asumsi teori dideduksi menjadi hipotesis. Asumsi disusun berdasarkan suatu teori yang kemudian digunakan sebagai landasan pikir dalam menganalisa suatu fenomena yang menjadi objek pengamatan kita. Hipotesa merupakan asumsi atau dugaan sementara terhadap hal yang diamati yang berupa suatu pernyataan yang terdiri dari sejumlah konsep atau variabel. Kedua, hipotesis dirinci lagi ke dalam konsep-konsep operasional (variabel) yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk pengamatan/observasi. Berdasarkan itu dibuat parameter penelitian dan instrumen penelitian, contohnya quesioner. Ketiga, hasil-hasil temuan dari pengamatan yang dilakukan melalui metode dan pengukuran tertentu kemudian dibuat generalisasi yang akhirnya diinduksi menjadi teori.

Mengingat kebenaran suatu teori bersifat sementara, maka dibutuhkan evaluasi suatu teori secara berkesinambungan. Teori yang sudah dapat dapat digugurkan atau dikuatkan kembali meski sudah pernah tergugurkan.

Beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori:

a. Cakupan teoritis (theoritical scope). Teori yang dibangun harus memiliki keberlakuan umum. Artinya dapat dijadikan standar untuk mengamati fenomena yang berkaitan dengan teori tersebut.

b. Kesesuaian (appropriatness), Apakah isi teori sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teoritis yang diteliti. Artinya landasan pikirnya dapat memberikan cara yang sesuai dan benar untuk menjawab pertanyaan penelitian.

c. Heuristic, Apakah suatu teori yang dibentuk punya potensi untuk menghasilkan penelitian atau teori-teori lainnya yang berkaitan. Sebagaimana telah dijelaskan diawal suatu teori merupakan hasil konstruksi atau ciptaan manusia, maka suatu teori sangat terbuka untuk diperbaiki.

d. Validity, Konsistensi internal dan eksternal. Artinya memiliki nilai-nilai objektivitas yang akurat, karena teori merupakan suatu acuan berpikir. Konsistensi internal mempersoalkan apakah konsep dan penjelasan teori konsisten dengan pengamatan, sementara itu konsistensi eksternal mempertanyakan apakah teori yang dibentuk didukung oleh teori-teori lainnya yang telah ada.

e. Parsimony, Kesederhanaan, artinya teori yang baik adalah teori yang berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana.

  1. Penutup

Ilmu (sain) dan teori memiliki jalinan yang kuat. Keduanya dibangun atas dasar fakta yang diolah secara logik dengan menggunakan proposisi yang teruji kebenarannya. Tujuannya adalah untuk kemaslahatan umat manusia.

Ilmu dibangun dari teori dan tujuan teori bukan semata-mata untuk menemukan fakta yang tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melilhat fakta, mengorganisasikan serta merepresentasikan fakta tersebut. Karenanya teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Bila sebaliknya, maka teori demikian tergolong teori semu. Teori yang baik harus memenuhi dua unsur, yaitu pertama, teori yang sesuai dengan realitas kehidupan dan kedua teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan yang nyata.

Uraian ini masih bersifat sederhana. Tujuannnya hanya untuk menjelaskan secara umum konsep yang melekat dalam ilmu (sain) dan teori.

Kepustakaan

Bakhtiar, A.

2007 Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hayon, Y.P.

2005 Logika Prinsip-prinsip Bernalar, Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN

Muhadjir, N.

2001 Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.

Mulyana, A.

2008 ”Teori Komunikasi”, artikel dalam http://www.kuliah-omit, 22 April 2008 diakses tanggal 30 November 2008 pukul 5.30.

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie

2007 Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta:

Andi.

Tafsir, A.

2006 Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wahyudi, I.

2007 Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: Badan Penerbit

Filsafat UGM.

Muhammad Hasri

Widyaiswara LPMP Sulsel